Halo para pembaca CeritaMistis.
Maaf saya posting di sini di saat saya sedang membutuhkan bantuan
kalian. Tolonglah saya. Kalian hanya perlu baca ini hingga akhir saja.
Cukup itu saja. Saya tidak tahu harus cari siapa lagi.
Nama saya Maria. Saya single mother. Saya beritahu ini bukan untuk
mendapat pujian atau dukungan atau apa-apa. Mungkin single mother yang
lain yang butuh. Saya hanya perlu sedikit dari waktu kalian.
Sejujurnya saya merasa menjadi seorang ibu ini adalah sebuah beban.
Penting, tapi, tetap saja adalah beban bagiku. Putra saya namanya Rino.
Saat ini sudah berumur 11 tahun. Masuk kelas 5 dan benci matematika.
Rino sama seperti anak-anak kelas 5 SD lainnya, penuh semangat, ceria
dan penuh tawa. Namun semuanya berubah ketika dia berkenalan dengan
Stan.
Stan, adalah siswa yang belakangan pindah ke kelas Rino. Dia anak
dari kota sebelah. Gurunya si Rino mendudukkan Stan di sampingnya.
Saat saya menjemput Rino dari sekolah di hari Selasa itu, dia cerita
kalau Stan adalah teman baik barunya. Tapi satu hal, dia tidak seperti
dirinya. Dia terlihat pucat dan berkeringat. Takut dia demam, saya cek
suhu badannya. Tapi termometer tidak menunjukkan adanya gejala panas.
Saya tanya mengenai apa yang dia lakukan di hari itu saja, dia hanya
menjawab kalau Stan adalah teman baik barunya.
“Stan, teman terbaikku,” begitu jawabnya.
“Saya tahu. Saya tidak sabar bertemu dengannya.”
“Ma, Stan itu hebat. Kamu harus bertemu dengannya. Dia teman terbaik. Terbaik sedunia.”
Saya rasa, kami sudah melalui percakapan seperti ini hampir ratusan
kali. Malamnya saat saya ke kamarnya untuk menyuruhnya tidur, dia dengan
mata berkaca-kaca dan meminta saya mendekat. Saya pun membungkuk dan
bertanya ada apa. Dia dengan tangan menutup mulutnya seolah-olah ingin
memberi tahu rahasia. Dia membisikkan sesuatu ke telinga saya. Saya
merasa menggigil ketakutan. Waktu itu saya belum mengerti mengapa saya
ketakutan.
Dia berbisik, “Ma, kamu percaya saya kan?”
“Percaya apa sayang?”
“Stan,” katanya, “Stan adalah sahabat terbaikku.”
Saya menganggukkan kepala. Dan kembali mengambil suhu badannya lagi.
Dan sekali lagi, dia tidak sedang demam.
Saya pergi ke kamar tidur, tetapi malam itu saya tidak bisa tidur nyenyak.
Hari Rabu, saya mengantar Rino ke sekolah. Dia telihat agak was-was, dan dia bilang tidak mau ke sekolah.
“Kamu sakit?” tanya saya.
“Tidak,” jawabnya. Dia menggigit bibir bawahnya. Saya tidak pernah
melihat dia begitu. Lalu tiba-tiba dia berkata, “Tidak. Saya harus
sekolah,” dan langsung keluar dari mobil.
Tidak ada pamitan. Tidak ada ucapan selamat jalan. Tidak ada apa-apa.
Dia menuju ke sekolah dengan kepala tertunduk. Saya putar arah menuju ke kantor bekerja.
Namun ada seorang anak laki-laki berdiri tepat di depan mobil saya.
Dua detik dan saya mungkin akan menabrak anak itu. Bocah itu terlihat
sangat pucat. Dia mengetuk kap mobil dua kali dan menyapunya sekali,
lalu berjalan ke tangga sekolah.
Saat saya menjemput Rino, dia telihat ceria. Dia kelihatan lebih
pucat dari biasanya, tapi dia terlihat senang. Dia ceritakan sehari-hari
dia di sekolah. Dia cerita tentang dinosaurus, musik, dan matematika.
Lalu dia cerita waktu istirahat..
“Lalu setelah pelajaran matematika, kita jam istirahat. Kamu gak akan percaya apa yang saya lakukan waktu istirahat Ma.”
“Ceritain dong,” ujar saya sedikit memelas sambil mengemudi. Saya
mengira dia akan cerita main kejar-kejaran, sepak bola, atau petak
umpat. Sesuatu yang dilakukan anak laki-laki saat istirahat. Sesuatu
yang normal.
“Saya bergabung dengan sebuah gereja!”
Saya mengernyit. “Gereja? Di waktu istirahat?”
Rino, mengangguk. “Gereja Stan”
Saya kira itu permainana anak-anak yang baru. Permainan membuat agama baru.
“Jadi apa itu gereja Stan?” tanya saya
“Itu gerejanya Stan, Ma,” jawab Rino tertawa seolah-olah itu adalah pertanyaan terbodoh.
“Lalu apa yang kalian lakukan? Maksudku, sebagai anggota gereja?”
“Banyak. Hari ini kami mendengar Stan berbicara. Dia mengatakan
kata-kata yang aneh dan saya merasa mengantuk dan tertidur. Banyak
teman-teman lain juga begitu.”
Saya memarkirkan mobil ke rumah, dan kami pun berjalan keluar.
“Apa itu?” tanya saya. Sungguh terdengar aneh. Tetapi anak-anak belum melakukan sesuatu yang salah.
“Stan juga kasih kami brosur.”
Rino menyerahkan sebuah kertas yang sudah lecek. Itu adalah kertas manila dengan tulisan spidol dua kata : Gereja Stan.
Agak aneh. Tetapi saya rasa anak-anak sedang bermain permainan imajinasi. Saya tidak tahu betapa salahnya saya.
Kemarin saat saya menjemput Rino dari sekolah, saya bisa melihat dia betul-betul dalam masalah. Dia terlihat panik dan takut.
“Ada apa say?” tanya saya sambil menyentuh dahinya.
Tidak panas.
“Kami bermain Permainan Jiwa hari ini,” ceritanya. Rino
celingak-celinguk terus menerus. Dia tidak bisa duduk diam. Dia terus
melihat sekeliling saat kita menuju rumah.
“Permainan Jiwa?” tanya saya
Rino hanya mengangguk dan terus melihat ke sekitar sesekali.
“Apa itu Permainan Jiwa?” tanyaku lagi.
Rino menggeleng kepala dan tidak berkata apa-apa.
“Rino, apa itu Permainan Jiwa?” tanyaku menekankan.
“Saya sudah bilang ke dia kalau saya tidak mau. Tetapi dia bilang
tidak akan mau berteman denganku lagi, kalau tidak mau memainkannya.”
“Siapa yang tidak mau berteman denganmu? Di mana guru?”
Napas Rino terdengar berat. Tetapi dia tetap menjawab.
“Terjadi di gereja,” jawabnya. Dia berbisik, “Guru tidak boleh masuk ke gereja.”
“Gereja Stan?”
Rino mengangguk. Dan air matanya mulai turun ke pipinya.
“Apa itu Permainan Jiwa, Rino? Saya ibu kamu. Coba cerita biar Mama yang tangani semuanya,” ujar saya.
“Saya gak boleh cerita Ma. Saya gak boleh. Aturannya jahat. Mereka semua jahat.”
“Bagaimana dengan Stan?” tanya ku, “Apakah Stan akan cerita kalau saya tanya?”
“JANGAN!” Rino teriak dan membuat saya ketakutan setengah mati juga. “JANGAN TANYA ATURANNYA. JANGAN TANYA MA.”
Kami tiba di rumah juga.
“Janji ma. Janjijanjijanjijanjijanji.”
Rino mulai menceracau. Dia terlihat ketakutan. Saya membawa dia ke
buaian saya dan menggoyang-goyang dia. Saya sudah tidak pernah melakukan
itu semenjak dia masuk TK. Dia tidur dalam buaian saya. Saya pun
menggendong dia langsung ke kamarnya.
Dia hanya perlu tidur. Saya berbicara ke diri sendiri. Iya, dia hanya butuh tidur.
Setelah menempatkannya ke kasur, saya makan malam sendiri. Saat jam 9
saya cek dia di kamar lagi, dia terlihat masih tidur. Jadi saya pun
pergi tidur.
Saya terbangun oleh teriakannya di tengah malam. Saya melihat jam
menunjukkan 00.18. Saya lari ke arah kamarnya. Tetapi dia tidak ada di
kamar. Saya menyalakan lampu dan Rino langsung melesat keluar dari
lemari seperti sesuatu mengejarnya. Dia memegang erat kakiku dan
berteriak.
Saya mencoba menenangkannya dan tanya apa yang terjadi.
Dia berbicara tidak karuan. Dia hanya berteriak tentang Permainan
Jiwa. Saya tanya sebetulnya itu apa? Tetapi dia tetap keukeuh tidak mau
beritahu.
Saya mengajaknya kembali tidur di kamarnya, tetapi dia tidak mau.
Akhirnya saya mengajaknya tidur bersama saya malam itu. Rino langsung
tertidur. Saya rebahan sambil memperhatikannya, mengusap rambutnya.
Namun tiba-tiba matanya terbuka lebar dan menatap saya.
“Saya akan beritahu kamu peraturannya besok setelah sekolah, nona,” katanya. Lalu matanya kembali terpejam lagi.
Apa yang terjadi dengan anakku.
Dalam kegelapan, saya menatap langit-langit cukup lama sebelum berbalik ke arah samping dan memperhatikan kamar mandi.
Kamu tahu ketika kamu di ujung mimpi, tiba-tiba kakimu kejang dan
menendang sehingga membuat kamu terbangun? Atau saat mau tidur,
tiba-tiba ada sensasi jatuh yang membuatmu terbangun?
Ini terjadi terus menerus pada saya semalam. Dan yang lebih seramnya
lagi, setiap kali saya mau tertidur saya selalu melihat ada sesosok
bayangan di ujung koridor. Begitu saya buka mata, tentu saja bayangan
itu hilang. Namun, setiap kali mata saya terpejam, sosok itu muncul. Dan
selalu selangkah lebih dekat dari saya.
Begitu terus sampai pagi harinya.
Pagi ini, saat pergi ke sekolah, Rino terlihat tidak bersemangat.
Saya pun sebetulnya merasakan hal yang sama. Saya malah merasa lebih
capek. Saya ingin bertanya ke Rino mengenai apa maksud omongannya
semalam sebelum dia tidur. Tetapi saya tidak sanggup. Saya takut ini
akan membuatnya histeris. Jadi saya memendamkannya untuk diri saya
sendiri saja.
Selama perjalanan di sekolah dia tidak mengatakan apa-apa. Dia
terlihat seperti robot; tidak bersemangat, tidak ada ada emosional.
Di kantor, saya mendapat panggilan telepon untuk meminta saya segera menjemput Rino. Dia muntah di dalam kelas.
Ketika saya menjemputnya, dia terlihat sama. Saya bertanya beberapa
hal, dia hanya bergumam saja. Rencana saya adalah begitu pulang ganti
pakaian bersih lalu langsung melihat dokter.
Dia diam saja selama perjalanan hingga kembali ke rumah.
“Apakah Stan, boleh datang kemari hari ini?” tanyanya ketika kita sudah tiba di rumah.
“Kamu kurang sehat, sayang. Kamu sungguh mau dia datang?” tanyaku.
Saya sebetulnya ingin bertemu dengan anak misterius itu tetapi
sepertinya Rino tidak begitu mau dia datang. Saya ingin mencari akar
permasalahannya.
“Ya,” jawab Rino.
“Okay,” kataku. “Kamu punya nomor telepon orang tuanya?”
“Dia sudah cerita ke orangtuanya. Mereka bilang okay.”
“Kita harus tunggu dia pulang sekolah. Saya juga ingin berbicara dengan orangtuanya.”
“Okay”, jawab Rino sambil berjalan masuk ke rumah.
“Kamu punya nomor telepon rumahnya?” tanyaku sambil berjalan masuk dan menutup pintu rumah.
“Nggak.”
Saya pun bertanya bagaimana saya bisa telepon ke orangtuanya, kalau
tidak punya nomor, namun tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Padahal saya
masih berdiri disamping pintu itu.
Saya membuka pintu, dan di hadapanku berdiri seorang anak laki-laki
pucat, yang ternyata adalah anak yang hampir saya tabrak di hari Rabu
kemarin itu. Seorang gadis kecil berdiri di sampingnya. Mirip dengan
anak laki-laki itu. Pucat.
“Ya?” tanyaku.
“Halo, Harti,” sapa anak itu. “Rino di rumah?”
Anak kecil itu tidak seharusnya tahu nama panggilan saya sewaktu di
kampus. Saya dipanggil “Harti” gara-gara dulu waktu diabsen dosen saya
gak konsen dan langsung menjawab “Hadir” padahal yang dipanggil namanya
“Harti.
“Gak,” jawabku.
“Oh tidak apa-apa,” jawab gadis kecil. “Nama saya Silbi. Dan saya rasa kamu sudah tahu nama adikku.”
“Stan,” jawab ku.
Gadis itu tersenyum.
Stan juga tersenyum, dan dia pun menjelaskan, “Sebetulnya aturannya
sangat sederhana. Pertama: jangan melewati cermin di tempat gelap.
Kedua: jangan membiarkan pintu terbuka kalau tidur di malam hari. Aturan
ketiga kamu bisa tanya ke anakmu. Kalau ada suara berderik, artinya
kamu mulai tertinggal. Kalau terdengar suara gemerisik berarti kamu
hampir kalah. Dan kalau ada suara dentuman, saya harap kamu tidak pernah
mendengar suara itu.”
Stan dan saudarinya berbalik arah.
Saya menatap heran dengan mereka dan geleng-geleng kepala. Saya tidak akan bermain permainan bodoh itu.
Saya masuk ke rumah, dan Rino menangis.
“Saya mendengar suara dentuman,” jawabnya setengah terisak.
Mulut saya kering. “Bagaimana cara mengakhiri permainan ini?” tanyaku.
“Tidak akan,” bisiknya. “Permainan ini tidak akan berakhir.”
Jantung saya berdegup kencang. “Apa aturan ketiga, Rino?”
Dia diam dan menarik napas, “Aturan ketiga, mengetahui seluruh tiga aturan, membuat kamu menjadi pemain.”
“Apa yang terjadi ketika kamu kalah?”
“Saat malam, kamu akan mendengar mereka datang. Mereka akan membiarkan kamu sadar bahwa mereka semakin dekat.”
“Siapa?”
“Stan and Silbi,” jawab Rino. “Mereka akan muncul dari balik cermin atau celah pintu dan menarikmu.
“Jadi bagaimana cara menang?” tanyaku.
“Kamu akan menang kalau kamu bisa memberitahu lebih banyak orang
tentang aturan Permainan Jiwa dibandingkan orang yang memberitahu kamu.”
Seperti yang saya bilang pembaca CeritaMistis. Maafkan saya.
Terima kasih sudah membantu saya. Sungguh. Saya harap kalian bisa menikmati malam kalian.
Sampaikan salam saya untuk Stan dan Silbi.